Minggu, 31 Agustus 2008

Teaterstudio Indonesia memotret kemiskinan




Layaknya pementasan teater genre visual yang memang tidak menghadirkan dialog verbal dalam menuturkan kisahnya, pementasan teater Perempuan Gerabah karya sutradara Nandang Aradea di café Oregano, Serang, Rabu (26/8) malam lalu itu juga nyaris tanpa kata-kata. Yang ada hanya gerakan-gerakan tubuh empat aktor bertelanjang dada dan seorang aktris berbusana ala pendekar silat yang berpendar ditimpa redup sinar lampu panggung.
Bunyi-bunyian hanya yang berasal dari derap kaki aktor dan aktris saat menjejak papan lantai panggung atau dari ditabrakannya gerabah-gerabah hingga pecah berantakan. Bagi penonton yang awam teater, tentu saja itu bukan pertunjukan yang menarik. Beberapa diantaranya mungkin pulang dengan menyisakan kebingungan.
"Tapi saya yakin penonton teater kita sudah pada cerdas. Mereka memang tidak perlu memiliki pemahaman yang sama tentang apa yang ditontonnya. Biarkan mereka menyimpukannya sendiri-sendiri. Yang jelas saya ingin penonton pulang dengan membawa ingatan tentang bagaimana mereka begitu terteror sepanjang pertunjukan," kata Nandang yang sempat mengenyam pendidikan di Fakultas Penyutradaraan Rusian Academy of Theater Art (GITIS), Moskow, itu.
Sejatinya Nandang ingin menunjukan kepada penonton bahwa tanah yang semestinya menjadi sumber segala penghidupan bagi manusia, sekarang ini justru malah menjadi sumber segala permasalahan. Bagaimana tanah telah membuat manusia tidak mampu melepaskan diri dari jerat kemiskinan, ketertutupan akses terhadap pendidikan, ekonomi, sosial, apalagi terhadap politik.
Nandang menyebut, bagaimana masyarakat di Desa Bumijaya, Kecamatan Ciruas yang hampir semuanya bermatapencaharian sebagai pengrajin gerabah sejak puluhan atau mungkin ratusan tahun lamanya, tapi hingga hari ini mereka tetap saja miskin dan terbelakang. "Ada apa ini? Padahal di NTB itu gerabah bisa laku mahal hingga jutaan rupiah di jual ke hotel-hotel dan sebagainya. Disini kok saya dengar belum lama ini tanahnya malah dikirim ke Bali sebagai bahan baku gerabah, yang tentu saja harganya tak seberapa" ujarnya.
Di Desa Bumijaya itu Nandang melakukan riset selama hampir satu tahun sebelum akhirnya menggarap naskah yang ditulisnya sendiri, bersama teaterstudio Indonesia yang didirikannya pada tahun 2003.
Keprihatinan terhadap permasalahan sosial nampaknya sudah menjadi ciri berteater pria yang sudah menggeluti teater sejak tahun 1990 itu. Sebelum ini dia bersama teaterstudio Indonesia juga pernah menggarap naskah teater bertajuk Pemeberontakan Petani Banten (PPB). PBB yang dicomot Nandang dari desertasi sejarawan Sartono Kartodirdjo itu dipentaskan disejumlah kota besar di Indonesia.
"Saya gelisah dengan realitas sosial yang terjadi. Bagaimana sekarang kita sudah dibuat seragam oleh satu kekuatan yang namanya pasar, dalam hal makan, minum, berpakaian, berkata-kata, bahkan hingga cara berfikir," imbuhnya.
Lahir di Ciamis, Jawa Barat, 37 tahun lalu, pria yang merupakan alumni IKIP Bandung ini hijrah ke Serang, pada tahun 1998 untuk mengajar drama di Untirta Serang. Dalam Perempuan Gerabah, Nandang berhasil menyeleksi empat orang aktor dan seorang aktris teaterstudio Indonesia yang dinilai lulus penggemblengan selama hampir lima bulan. Mereka adalah Taupik P. Pamungkas, Dedi Setiawan, Suryadi Sally Al-Fakir, Arip Fr dan Desi Indriyani. Sementara perempuan tua pembuat gerabah adalah Mak Meryamah, warga Desa Bumijaya yang didapuk naik panggung untuk menunjukan bahwa dia dan hampir semua warga desa pengrajin gerabah di Kabupaten Serang itu adalah korban teror tanah mereka sendiri.(idm)

Tidak ada komentar: