Minggu, 31 Agustus 2008

Teater Perempuan Gerabah, Teror dari sang tanah



Suasana lengang yang sudah berlangsung selama kira-kira 15 menit tiba-tiba saja pecah menjadi jeritan, atau percisnya setengah menjerit, yang keluar dari mulut para penonton pementasan teater dengan lakon Perempuan Gerabah itu. Beberapa penonton bahkan bangkit dari duduknya dan pindah mencari tempat duduk lain yang lebih aman. Beberapa lagi tampak berusaha melindungi wajah atau badan mereka dari cipratan lumpur yang tengah dilempar-bantingkan para pemain diatas panggung. Teror tidak berhenti sampai di situ. Pada bagain berikutnya para pemain bermanuver dengan mengusung masing-masing satu buah gerabah ditangan. Gerabah diputar-putar, dilempar untuk kemudian ditabrakan satu sama lain dan pecah berantakan. Jeritan penonton semakin menjadi. Pecahan-pecahan gerabah yang berserakan dilantai panggung itu lalu diraup oleh para pemain untuk kemudian dihambur-hamburkan. Tak pelak meski tidak banyak, ada juga pecahan-pecahan gerbah itu yang berhasil menerjang penonton.
Konstruksi panggung kayu berbentuk bundar setinggi setengah meter itu memang hanya berjarak tidak lebih dari satu meter dari tempat duduk penonton terdepan yang sengaja dibuat melingkari panggung. Bagi penonton yang berada dibelakang tempat duduk terdepan diposisikan lebih tinggi, dan begitu seterusnya sehingga berundak-undak layaknya di istora senayan Jakarta. Tapi tentu saja, ukurannya jauh lebih kecil. Kapasitasnya pun paling banter cuma akan bisa menampung kurang dari seratus penonton. Namun begitu, "istora" teater Perempuan Gerabah tersebut, pada pementasannya yang terakhir di Serang Rabu (26/8) malam lalu penuh dipadati penonton. "Malam pertama dan kedua juga ramai, tapi tidak seramai malam ini memang," kata Nandang Aradea, sang sutradara.
Dari atas panggung, empat aktor yang hanya mengenakan kain putih untuk menutupi sebatas pinggang hingga paha dan seorang aktris, berpakaian bak pendekar dalam film-film silat, terus bergerak nyaris tanpa henti. Mereka meliuk, meloncat, berlari, berputar, merangkak, merunduk, men-jengking, dalam ritme yang teratur satu sama lain, hingga sampai pada tahap seperti ekstase, atau mungkin juga lelah. Para aktor yang kelelahan itu terjuntai dibibir panggung. Tubuh telanjang para aktor yang sudah dipenuhi peluh itu kemudian satu-persatu dibalur menggunakan lumpur tadi oleh sang aktris dengan gerakan yang artistik bahkan mungkin nyaris erotis. Bagaimana tidak, tubuh telanjang para aktor itu disusuri oleh telapak tangan lembut sang aktris yang memegang lumpur, sejak kepala, turun ke leher, dada, punggung hingga pinggang, untuk kemudian meloncat menyusuri bagian kaki.
Pertunjukan sepanjang satu setengah jam dalam temaram sinar lampu itu diakhiri dengan naiknya seorang perempuan desa tua keatas panggung yang dalam hitungan menit berhasil membuat gerabah dari lumpur, setinggi 15 cm. Selain kedua tangan tuanya yang tampak sibuk mengarahkan gerak naik lumpur, kaki sebelah kirinya juga tak kalah sibuknya memancal alat tradisional pembuat gerabah agar terus berputar. Saat perempuan tua itu berdiri dan mengusung gerabah hasil karyanya yang masih basah, tepuk tangan penontonpun membahana. Dan pertunjukan teater itu pun berakhir dengan menyisakan ingatan akan betapa seonggok lumpur atau tanah pun ternyata bisa sangat menjadi sebuah ancaman alias teror.(idm)

Tidak ada komentar: